Chitika

January 26, 2010

Gelar Sutan di Minangkabau

"
Wassalam
Ujang Sutan Rajo Angek.
Jl. Sari Kelana No. 1
Jakarta Tenggara,
090921
"

Demikianlah si Ujang, bergelar Sutan Rajo Angek mencantumkan signaturenya pada tiap emailnya. Setelah menikah, si Ujang dengan bangganya memperkenalkan dirinya dengan namanya yang baru. Ujang Sutan Rajo Angek. Ada tambahan gelar "Sutan" di belakang namanya, Sutan Rajo Angek.

Temannya yang penasaran bertanya "Hei Ujang, namamu sudah berganti ya, tambah panjang saja namamu, tidak puas dengan namamu yang cuma satu kata itu ?"
"Ah gelar ini tidak masuk KTP kok, cuma gelar panggilanku saja dan tanda aku sudah menikah ", ujar si Ujang sambil tersenyum.

Si Ujang benar adanya. Semenjak menikah, namanya Ujang tidak berubah di KTP nya, tetapi cuma ditambahi gelar Sutan Rajo Angek dalam penyebutan namanya. Ini adalah kebiasaan/budaya Minangkabau yang memberikan gelar kehormatan kepada pemuda yang sudah menikah. Umumnya, pemberian gelar ini dilakukan untuk pemuda Minang yang sudah menikah atau pemuda dari suku lain yang menikah dengan perempuan Minang. Gelar ini bukanlah gelar kebangsawanan seperti gelar pangeran di Jawa ataupun Sunda. Gelar ini adalah gelar kehormatan. Gelar ini mengisyaratkan penghargaan terhadap suami/pemuda yang telah menikah tersebut. Gelar ini biasanya dimulai dengan kata Sutan, Katik, Malin, Pakiah, Marah, Bagindo, Sidi, dll. Tidak peduli apakah dia adalah anak pengusaha kaya, keturunan kyai ataupun anak orang miskin ataupun orang biasa-biasa saja, dia akan mendapatkan gelar tersebut.

Gelar ini adalah panggilan kehormatan baginya, yang mengisyaratkan bahwa ia dihormati dan dianggap telah dewasa terutama setelah ia menikah. Setelah menikah ia akan dipanggil dengan gelar kehormatannya itu di hadapan banyak orang. Dengan gelar itu berarti dia dianggap penting di keluarga dan di masyarakatnya, bisa dibawa berunding dan dimintakan pendapatnya ketika ada persoalan yang menyangkut keluarga dan masyarakatnya.

Secara umum dan berdasarkan pengalaman penulis, gelar ini didapat dengan prinsip matrilineal, atau menuruti garis ibu. Yang artinya, gelar itu diambilkan dari gelar kaum laki laki dari pihak ibunya. Dalam hal ini bisa berasal dari gelar paman, kakek, atau sepupu laki-laki dari pihak keluarga ibunya. Ataupun gelar ini bisa berasal dari gelar yang spesifik dipunyai oleh suku/kaum ibunya.

Tidak semua gelar ini datang dari pihak keluarga ibu. Di daerah Padang dan Pariaman, gelar ini diambil dari gelar bapaknya bukan dari gelar suku ibunya, seperti gelar Sidi atau Bagindo. Ada juga gelar yang didapat dengan mengkombinasikan gelar dari pihak ibunya dan gelar dari pihak bapaknya. Sampai sekarang penulis juga tidak tahu aturan baku untuk pemakaian gelar seperti ini, apakah menurutkan garis ibu atau garis bapak. Sepertinya tergantung sekali dengan adat di nagari tersebut dan kesepakatan keluarga/kaum dari pihak laki-laki. Sepertinya inilah yang disebut "Adat Selingkar Nagari, Pusaka Selingkar Kaum". Tiap nagari atau daerah di Minangkabau mempunyai adat yang bisa saja berlainan untuk kasus ini. Bahkan dari bacaan penulis, gelar ini juga bisa didapatkan semenjak kecil, jadi bukan dikarenakan sebab pernikahan.

Bukan hanya laki-laki Minangkabau yang mendapatkan gelar ini. Laki-laki yang menikahi wanita Minangkabau pun mendapatkan gelar ini. Contoh terbaru adalah Helmi Yahya yang menikah pada pertengahan Januari 2010 mendapatkan gelar Bagindo Sati (Baginda Sakti) setelah menikahi perempuan Minang. Ini juga merupakan penghormatan terhadap orang bersuku selain Minang yang menikahi perempuan Minang.

Dalam budaya Minangkabau, ada istilah "Ketek banamo, Gadang Bagala", yang artinya "Kecil punya nama, kalau sudah Dewasa punya Gelar". Artinya kalau seseorang sudah menikah, maka ia akan dipanggil dengan Gelarnya di depan umum. Misalnya seseorang bergelar Sutan Mangkuto, maka ketika dia berkumpul di keluarga istrinya, dia akan dipanggil "Sutan" atau "Mangkuto" atau "Sutan Mangkuto". Begitu juga kalau dia bertemu dengan orang kampung tempat istrinya berada, dia lebih dikenal dengan gelarnya daripada namanya.

Artikel ini juga ditulis ulang di blog penulis yang baru :
https://www.huzefril.com/posts/budaya/minangkabau/gelar-sutan-di-minangkabau/

January 9, 2010

Tambo Alam Minangkabau

Setiap suku bangsa memiliki cerita asal usul. Demikian pula dengan suku Minangkabau. Cerita mengenai asal usul dan sejarah di Minangkabau dikenal dengan nama Tambo. Tambo ini berisikan berbagai macam cerita menarik mengenai asal usul kedatangan nenek moyang Minangkabau ke pulau Sumatera, asal usul nama daerah di Minangkabau, atau pun asal usul sesuatu yang terjadi di masa lalu di alam Minangkabau. Tambo ini sejenis dengan babad Tanah Jawi di Jawa, atau babad Pasundan di Sunda.

Konon , istilah "Tambo" ini berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu tambay atau tambe yang artinya : bermula. Iseng-iseng aku cari arti kata tambay yang ternyata berarti lebih kurang "Permulaan, pertama kali, membuat jadi, atau usaha". Jadi artinya hampir semirip yaitu cerita mengenai asal muasal dari sesuatu terjadi.

Bentuk fisik dari tambo ini sendiri berupa naskah-naskah yang ditulis dalam huruf Arab Melayu ataupun dalam huruf latin. Lokasi naskah-naskah ini pun ada yang berada di Sumatera Barat sendiri, Museum Nasional Jakarta, Universitas Leiden Belanda, dan perpustakaan di London. : (sumber informasi)).

Alur cerita pada tambo boleh dikatakan tidak memperhitungkan kalkulasi waktu atau tahun. Didalam Tambo, penanggalan tidak terlalu penting. Penceritaannya pun penuh dengan perumpamaan, hiperbola, dan kata-kata yang harus diinterpretasi dulu agar bermakna. Namun didalam tambo terdapat asal usul sesuatu dan cerita yang membuat sebuah tempat, peristiwa, dan sejarah di Minangkabau menjadi bermakna bagi orang yang penasaran dengan hal itu.

Tambo itu sendiri konon mempunyai beberapa versi untuk penceritaan yang sama. Hal ini dapat dimaklumi, karena adanya tradisi penceritaan Tambo melalui lisan yang cukup kuat di Minangkabau mengakibatkan sebuah cerita bisa mempunyai banyak versi.

Ketika berbicara tentang Tambo, si Rajo Angek kembali merenung ke masa lalu. Mengenang sewaktu menonton aksi penceritaan Tambo di pasar Ateh, Bukittinggi. Dengan sedikit pantun, sambah manyambah, dan gayanya khas tukang jual obat, beliau menjajakan dagangannya berupa buku tentang Tambo Alam Minangkabau dan menukilkan sedikit dari isi bukunya :

Dimano titiak palito
Dibaliak telong nan batali
Dimano asa niniak kito
Dari lereng gunuang Marapi

Artinya :

Dimana titik pelita
Disebelah telong yang bertali
Darimana asal muasal nenek moyang kita
Dari lereng gunung Merapi ( gunung Merapi di Sumatera, bukan yang di Jawa)

Tambo dianggap sebagai salah satu sumber sejarah Minangkabau. Walaupun Tambo bukanlah sebuah karya ilmiah yang terbukti kebenarannya, tetapi cukuplah sebagai pemuas dahaga dan keingintahuan mengenai asal muasal dari peristiwa, tempat, dan kejadian di Minangkabau. Secara pribadi, aku merasa bahwa Tambo ini lebih kepada karya seni dan budaya yang terbentuk dari penceritaan lisan dan gaya penceritaan yang puitis, yang mengasah khasanah berbudaya dan berseni dari masyarakat Minangkabau.

Dengan Tambo ini, banyak novel dan penceritaan yang dibuat. Misalnya yang pernah si Rajo Angek baca adalah "Tambo, sebuah pertemuan" karya Gus Tf Sakai. Didalamnya Tambo dianggap sebagai sumber sejarah yang bisa dikombinasikan dengan fakta sejarah yang ada, ditambahi dengan fakta keadaan sekarang, sehingga membentuk untaian cerita yang menarik.

Jadi, sejauh mana Tambo menginspirasi rasa senimu ?

Chitika


HTML Hit Counters