Chitika

December 28, 2009

Orang Minang yang Pelit

"Kenapa sih orang Minang itu pelit" ?

Demikian sebuah pertanyaan yang kadang-kadang mengusik hati ini. Apakah memang orang Minang itu pelit ?. Kalau mau berdebat mengenai hal ini mungkin tidak akan ada habisnya. Dimana-mana sebenarnya ada orang yang pelit, ada yang sangat dermawan dan ada pula yang diantaranya. Akan tetapi, memang pelabelan seperti itu memang sangat mengusik perhatian. Apakah pelabelan pelit pada orang Minang itu bagaikan pepatah "Karena nila setitik, maka rusak susu sebelanga"?. Hal ini sama saja dengan mengatakan kalau orang Sunda, Jawa, atau orang luar negeri yang kita pernah temui dan kebetulan bersifat pelit, maka jadilah kita melabeli bangsa atau suku mereka itu pelit.

Pelit adalah kata sifat yang didapat oleh seseorang dari didikan, pengalaman, pemahaman, dan keinginannya. Kalau dirunut dari penyebab diatas maka semestinya asosiasi antara suku bangsa dan sifat pelit itu hanya dari sisi didikan dan pemahamannya. Karena didikan dan pemahaman di suatu suku bangsa, maka sifat pelit itu akan mendarah daging di anggota suku tersebut. Begitulah kira-kira maksudnya. Sementara sifat pelit yang dikarenakan oleh pengalaman dan keinginan merupakan penyebab pelengkap yang bisa dialami oleh semua orang, terlepas dari suku bangsa atau kewarganegaraannya.

Sekarang coba kita lihat didikan dan pemahaman dari suku Minang yang berhubungan dengan sifat pelit tersebut. Sependek yang aku tahu dan pahami, belum pernah aku temui sebuah budaya atau paham adat Minangkabau yang mengajarkan sifat pelit, dan kurasa hampir semua budaya di bangsa apapun juga tidak menyarankan sifat pelit (* mohon koreksinya kalau ada yang menemukan *). Hal ini dapat dipahami sebenarnya, karena masyarakat sebuah suku bangsa pastilah mempunyai norma yang menjurus ke norma norma universal, kecuali suku bangsa yang tidak mau berinteraksi dengan suku bangsa lainnya. Begitupun dengan masalah sifat pelit. Malahan, lagi lagi sependek yang aku tahu, budaya Minang menganjurkan berbuat baik baik dengan harta dan perbuatan dan tidak ada yang lebih penting dari budi yang baik seperti pantun berikut :

Tabek ikan panuah dek ikan,
Gadang di tabek ikan gurami,
Ameh bukan pangkek pun bukan,
Budi sabuah nan dicari.

Artinya :

Kolam ikan yang penuh dengan ikan,
Berkembang di kolam ikan gurame,
Emas bukan dan pangkat pun bukan,
Hanya budi baik yang perlu dicari.

Jadi dari manakah sifat pelit yang sering disematkan ke orang Minang ? kalaulah bukan dari didikan dan pemahaman, maka penyebabnya pastilah karena pengalaman atau keinginan orang tersebut, jadi bukan lagi diasosiasikan dengan suku bangsa. Pengalaman kehidupan bisa membuat seseorang menjadi pelit, dermawan, ataupun biasa biasa saja. Keinginan dan nafsu duniawi yang besar bisa membuat seseorang menjadi pelit dan kikir. Ini adalah pola kehidupan manusia yang wajar.

Jadi kalau mau jujur, pertanyaan yang tepat di awal artikel ini semestinya adalah : kenapa orang bisa bersifat pelit ?

4 comments:

Anonymous said...

mungkin bukan pelit istilahnya..tapi penuh perhitungan sampai-sampai hal yang se kecilpun diperhitungkan
contohnya..* saya punya tetangga kos juga sangat perhitungan..suatu ketika dia ingin mengkopi lumayan banyak tapi cuma sekali..dia tu milih fotokopian yang lebih murah dan jauh jaraknya kalo fotokopiannya selisih sekitar 5000 tp itu belum biaya bensin + parkir, paling cuma selisih 2000..dapet apa coba..paling cuma dapet es jeruk masih ada kembali 500
* lagi-masih orang yang sama- dia itu pingin biaya yang dikeluarkan sekecil-kecilnya-bener secara perinsip ekonomi- tapi yaitu masa harus mengorbankan orang lain..contohnya..yang barusan kemaren,dia itu mau pulang, minta dianterin sama kita-kita -ank kos-, padahal waktu itu hujan deres banget..knapa kok ya tetep minta anterin mbok ya dia tu pesen taksi..lah dia tu dah s3 -secara ekonomi lebih mapan daripada kita-kita -masih s1- kok ya lagi-lagi harus mengorbnkan orang lain demi tujuannya..-lainnya masih banyak,kalo dijelasin di sini bisa panjang banget-

coba bayangkan apa yang mau dikata terhadap orang itu..dan kebetulan dia juga orang minang..apa memang seperti itu adatnya???

Anonymous said...

kalau dibilang perhitungan mungkin memang iya, khususnya yang banyak saya lihat adalah orang minang perantauan. Tapi itu wajar saja, mengingat dimana-mana orang perantauan mesti berhitung dalam mengeluarkan uangnya. Hal ini juga tidak terikat kepada suku, banyak teman saya dari Jawa ataupun Sunda perantauan juga perhitungan dalam membelanjakan uangnya, makannya cuma sekali sehari, pakaiannya itu itu saja, atau untuk kasus diatas, dia akan cari fotocopian yang paling murah juga, dst. Lagi-lagi ini memang berhubungan dengan pengalaman hidup dan latar belakangnya orang tersebut. Kalau bapaknya kaya atau dia kaya, tentunya duit ribuan mungkin tidak berarti, tidak ada rasa menyesal berbelanja lebih mahal, mungkin malah menjadi hobbi. Saya rasa pelit dan tidak pelit tidak selalu diidentikkan dengan tingkat pendidikan, kalau dia pendidikannya tinggi tapi ekonominya tidak mencukupi, lalu apa salah dia perhitungan, kecuali ada orang yang menjamin dia kalau uangnya habis akan diganti lagi.
Dan ini juga masalah persepsi orang, kalau saya bertemu dengan orang Minang yang tidak pelit, malah mungkin akan dianggap aneh, karena sudah ada persepsi sebelumnya. Padahal banyak orang Minang juga yang dermawan seperti suka nraktir, aktif di kegiatan sosial, dll, tapi karena sudah ada persepsi itu maka semuanya seperti "karena nila setitik, rusak susu sebelanga" :)

Anonymous said...

Minang atau bukan, bukanlah patokan kalau orang itu pelit atau perhitungan. Banyak teman saya di luar suku minang yang jauh lebih perhitungandibandingkan kami orang minang. Kami orang minang, Basa basinya saja menawarkan makan bukan sekedar minum. 1 hal lagi jikalau orang minang perhitungan, saat anda anda membeli nasi padang ya apa daun singkong rebus, sambal serta gulai nangkanya dihitung.

Pada zaman sudah semaju ini kenapa masi mengkerdilkan pikiran hanya karna suku A dan B. Semua sama di hadapan Allah bukan yang beda hanya amalannya.

Wassalam.
Putri minang

Anonymous said...

Teman kantorku yg tdk pernah ngetraktir atau bawa ole2 kalau habis pulkam cuma orang padang. Suku lain, traktir teman dan bawa ole2 adalah biasa. Sy menduga mungkin ajaran mereka sejak kecil. Yang ke2 teman2 orang padangkhususnya yg cowo, kalau berpakaian selalu rapi. Hanya pengalaman pribadi saja, kebetulan mungkin. mgkin yg lain tdk demikian

Chitika


HTML Hit Counters